Bacasore.com – Pulau Lombok, yang terletak di Nusa Tenggara Barat, tidak hanya dikenal karena keindahan alamnya yang memukau, tetapi juga karena kekayaan budayanya yang begitu kental.
Salah satu tradisi yang menjadi daya tarik utama di pulau ini adalah tradisi Bau Nyale.
Tradisi ini bukan hanya merupakan bagian dari kehidupan masyarakat lokal, tetapi juga menjadi magnet bagi para wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri, yang ingin merasakan langsung pengalaman unik ini.
Apa Itu Tradisi Bau Nyale?
Tradisi Bau Nyale adalah perayaan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Sasak, suku terbesar di Lombok.
Dalam bahasa Sasak, “bau” berarti menangkap, dan “nyale” merujuk pada cacing laut.
Dengan demikian, Bau Nyale secara harfiah berarti kegiatan menangkap cacing laut.
Uniknya, tradisi ini dilakukan secara rutin pada tanggal 20 bulan 10 dalam penanggalan tradisional Sasak, yang biasanya jatuh antara bulan Februari dan Maret.
Tradisi ini tidak hanya sekadar aktivitas menangkap cacing laut.
Bau Nyale sarat akan makna dan cerita mistis yang berakar dari legenda masyarakat setempat.
Salah satu cerita yang paling terkenal adalah legenda Putri Mandalika, yang menjadi latar belakang dari pelaksanaan tradisi ini.
Legenda Putri Mandalika: Asal Usul Tradisi Bau Nyale
Menurut cerita rakyat yang diwariskan dari generasi ke generasi, tradisi Bau Nyale berhubungan erat dengan legenda Putri Mandalika.
Putri Mandalika adalah anak dari pasangan Raja Tonjang Beru dan Dewi Seranting, penguasa Kerajaan Tonjang Beru di Lombok.
Kecantikan sang putri membuat banyak pangeran dari berbagai kerajaan di Lombok, seperti Johor, Lipur, Pane, Kuripan, Daha, dan Beru, tertarik untuk meminangnya.
Namun, sang putri tidak ingin menimbulkan konflik di antara para pangeran. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk tidak memilih salah satu dari mereka.
Untuk menghindari perpecahan dan pertumpahan darah, Putri Mandalika memilih untuk mengasingkan diri.
Pada suatu hari, ia mengundang semua pangeran dan rakyat ke Pantai Kuta, Lombok, pada tanggal 20 bulan 10, tepat sebelum fajar menyingsing.
Ketika semua undangan berkumpul, Putri Mandalika muncul di pinggir pantai dan berdiri di atas sebuah batu besar.
Tidak lama setelah itu, ia melompat ke laut dan menghilang tanpa jejak.
Masyarakat yang hadir tidak menemukan sang putri, tetapi mereka menemukan sekumpulan cacing laut yang kemudian diyakini sebagai jelmaan Putri Mandalika.
Inilah yang menjadi asal usul tradisi Bau Nyale, di mana cacing laut atau nyale dipercaya sebagai penjelmaan sang putri.
Proses Pelaksanaan Tradisi Bau Nyale
Pelaksanaan tradisi Bau Nyale dimulai dengan pertemuan adat yang disebut Sangkep Wariga.
Pertemuan ini melibatkan para tokoh adat untuk menentukan tanggal yang tepat untuk pelaksanaan Bau Nyale. Tanggal yang dipilih adalah tanggal 20 bulan 10 dalam penanggalan Sasak.
Sehari sebelum pelaksanaan Bau Nyale, diadakan prosesi Pepaosan.
Prosesi ini melibatkan pembacaan lontar, yaitu naskah kuno yang berisi sejarah dan ajaran leluhur, oleh para mamik atau tokoh adat.